Oleh: Rioberto Sidaruk*
BK, Jakarta,- Perkembangan Artificial Intelligence (AI) telah mengubah dunia jurnalistik dan penyiaran. AI menawarkan kemajuan luar biasa, mempercepat produksi berita, mempermudah analisis data besar, dan mempersonalisasi konten. Namun, di sisi lain, teknologi ini juga menghadirkan tantangan dalam hal akurasi informasi dan kualitas jurnalistik. Di era digital yang dikuasai algoritma, muncul pertanyaan besar: apakah AI memperbaiki atau justru memperburuk kualitas informasi yang kita konsumsi?
Selain algoritma, teknologi lain seperti Big Data, Cloud Computing, Blockchain, IoT, dan 5G juga semakin mendominasi dunia digital. Big Data memungkinkan analisis mendalam dalam produksi berita, sedangkan Cloud computing mempercepat distribusi konten. Blockchain membantu memastikan keamanan data, dan 5G memberikan kecepatan internet yang memungkinkan pengiriman berita lebih cepat. IoT pun semakin penting dalam memberikan data untuk media dan iklan.
Namun, meskipun AI dan teknologi lainnya menawarkan efisiensi, terdapat disparitas mencolok antara hasil karya jurnalistik manusia dan AI. AI dapat menghasilkan berita cepat dan berdasarkan fakta, tetapi sering kali kurang mendalam, kreatif, dan kontekstual. AI juga tidak bisa menyampaikan nuansa emosional dan konteks sosial yang sangat dibutuhkan dalam jurnalisme berkualitas. Di sisi lain, algoritma dalam media sosial dan platform berita sering memperburuk fenomena post-truth, di mana informasi yang sensasional dan bias lebih diprioritaskan daripada yang berbasis fakta.
Kaitan AI dengan Post-Truth
Fenomena post-truth semakin berkembang dengan adanya AI. Post-truth mengacu pada keadaan di mana emosi dan keyakinan pribadi lebih memengaruhi pembentukan opini publik dibandingkan dengan fakta objektif. AI dan algoritma yang digunakan di platform digital dapat memperburuk post-truth dengan memprioritaskan konten sensasional, emosional, dan kontroversial, yang lebih menarik perhatian pembaca daripada informasi berbasis fakta. Filter bubble dan personalized content membuat pengguna hanya terpapar pada informasi yang memperkuat pandangan mereka sendiri, memperburuk ketidakseimbangan informasi. AI juga memudahkan penyebaran hoaks dan disinformasi, yang semakin sulit dibedakan dari kebenaran.
Mengatasi Post-Truth di Era AI
Untuk mengatasi fenomena post-truth, langkah-langkah strategis dan teknokratik diperlukan. Pertama, perlu ada transparansi algoritma yang digunakan platform digital. Algoritma rekomendasi sering memperkuat filter bubble dan memprioritaskan konten sensasional. Regulasi yang baik harus memastikan bahwa algoritma mendistribusikan informasi seimbang, dengan memperhatikan verifikasi fakta dan keakuratan informasi.
Selain itu, kita perlu mengembangkan teknologi verifikasi otomatis yang bisa mendeteksi dan membatasi penyebaran berita palsu. AI berbasis verifikasi fakta bisa memeriksa kebenaran informasi dengan membandingkan data yang ada dengan sumber terverifikasi, mengurangi ketergantungan pada intervensi manusia. Machine learning juga dapat membantu memperbaiki algoritma dan meminimalkan bias dalam distribusi informasi.
Pendekatan lainnya adalah dengan pendidikan literasi media. Masyarakat harus diberdayakan untuk memahami cara kerja algoritma, serta belajar untuk mengenali berita yang tidak terverifikasi atau bias. Literasi media yang baik akan meningkatkan kesadaran kritis dan mengurangi efek filter bubble. Penyuluhan tentang algoritma dan bagaimana memilih sumber yang kredibel sangat penting dalam meningkatkan kemampuan publik dalam menyaring informasi.
Secara keseluruhan, mengatasi post-truth di era AI memerlukan kolaborasi antara regulasi yang jelas, teknologi canggih, dan pendidikan media. Dengan verifikasi berbasis AI, transparansi algoritma, serta pemahaman publik tentang informasi yang mereka konsumsi, kita dapat menciptakan ekosistem informasi yang lebih akurat, terpercaya, dan berimbang.
Monetisasi dari Kesesatan Algoritma
Selain dampak negatif algoritma terhadap post-truth, monetisasi dari kesesatan algoritma juga menjadi masalah besar. Platform media sosial dan situs berita sering kali menghasilkan pendapatan iklan digital dari konten yang menyesatkan atau kontroversial. Situs yang menyebarkan hoaks atau disinformasi mendapatkan keuntungan besar dari algoritma yang memprioritaskan konten yang mengundang emosi dan keterlibatan pengguna, meskipun konten tersebut tidak berbasis fakta. Sebuah laporan dari NewsGuard mengungkapkan bahwa situs-situs penyebar berita palsu menerima sekitar $2,6 miliar dalam pendapatan iklan setiap tahunnya.
Monetisasi berbasis clickbait dan konten sensasional ini menciptakan insentif bagi platform untuk memperburuk penyebaran informasi yang salah. Oleh karena itu, regulasi yang membatasi praktik monetisasi berbasis konten yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sangat penting untuk menjaga keberagaman informasi yang sehat.
Apa yang Dapat Dilakukan Jika Algoritma Salah atau Dibelokkan?
Ketika algoritma menyebarkan informasi yang salah atau bias, hal itu dapat memperburuk kesesatan berpikir. Untuk mengatasi ini, pertama, perlu ada monitoring algoritma secara berkelanjutan untuk memastikan bahwa algoritma tidak menyebarkan konten yang menyesatkan. Transparansi dalam algoritma harus dijaga dengan memungkinkan pihak ketiga untuk mengaudit bagaimana algoritma bekerja, serta memastikan bahwa informasi yang disebarkan adalah berbasis fakta dan seimbang.
Kedua, kita perlu mengembangkan AI untuk verifikasi otomatis, yang dapat membantu dalam mendeteksi kesalahan atau kebohongan dalam konten yang beredar. Sistem ini harus terus diperbarui agar dapat menghadapi hoaks dan deepfake yang semakin berkembang
Pendekatan Human-in-the-Loop untuk Mengatasi Tantangan Era Digital
Human-in-the-loop adalah pendekatan di mana kecerdasan manusia dan teknologi otomatisasi bekerja bersama dalam proses pengambilan keputusan. Meskipun AI dan algoritma dapat mengotomatisasi berbagai tugas, manusia tetap memiliki peran kunci dalam mengawasi dan memverifikasi hasil yang diberikan oleh teknologi, terutama dalam hal-hal yang memerlukan pertimbangan etis, konteks sosial, dan verifikasi fakta. Dalam konteks jurnalisme, meskipun AI mempercepat proses produksi berita, manusia tetap mengawasi dan mengendalikan hasilnya untuk memastikan akurasi, keadilan, dan makna. Untuk mengatasi tantangan post-truth yang dipicu oleh AI dan algoritma, pendekatan human-in-the-loop menjadi solusi yang efektif. Dengan menggabungkan kecerdasan manusia dan teknologi otomatisasi, jurnalis tetap memegang peran penting dalam verifikasi fakta, pendalaman konteks, dan etika pemberitaan. Regulasi yang tepat, bersama dengan kolaborasi antara teknologi, regulasi, dan pendidikan media, akan memastikan bahwa kebenaran tetap menjadi dasar dalam pembentukan opini publik, menciptakan jurnalisme yang lebih berimbang, berkualitas, dan bertanggung jawab. (r10)
*Rioberto Sidauruk adalah Pemerhati Hukum Ekonomi Politik dan Peneliti Industri Strategis. Saat ini bertugas sebagai Tenaga Ahli di Komisi VII DPR RI yang membidangi Industri, UMKM, Ekonomi Kreatif, dan Lembaga Penyiaran Publik ( Redaksi ).