Oleh: Ahmad Komarudin
BK, Jakarta,- Keputusan administratif Menteri Dalam Negeri yang menetapkan empat pulau di Aceh Singkil sebagai bagian dari wilayah Sumatera Utara menimbulkan polemik yang jauh melampaui sekadar persoalan batas wilayah. Di balik angka-angka koordinat dan garis peta digital, tersimpan potensi konflik sosial, politik, dan keamanan yang bisa mengganggu stabilitas daerah, bahkan mengusik integrasi nasional secara lebih luas.
Akar Masalah: Antara Administrasi dan Sejarah merupakan Empat pulau yang dipersoalkan Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang selama ini secara administratif berada di Kabupaten Aceh Singkil. Namun, melalui Keputusan Mendagri Nomor 050-145 Tahun 2022, keempat pulau tersebut justru dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Pemerintah pusat beralasan bahwa keputusan itu berdasarkan hasil verifikasi bersama lembaga-lembaga pemetaan nasional.
Namun bagi masyarakat Aceh, keputusan itu dianggap sepihak dan mengabaikan fakta sejarah, hukum adat, serta perjanjian masa lalu yang menegaskan bahwa wilayah tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari Aceh. Mereka merujuk pada sejumlah dokumen, termasuk SKB 1992, yang menurut masyarakat Aceh belum pernah dibatalkan secara sah.
Konflik Kepentingan yang Muncul
Polemik ini telah memicu beberapa potensi konflik:
•Konflik antar daerah: Ketegangan antara Pemerintah Aceh dan Sumatera Utara mulai muncul, dengan masing-masing pihak mempertahankan klaim atas wilayah tersebut.
•Konflik sosial lokal: Masyarakat adat, khususnya para nelayan dan pemilik hak ulayat di Aceh Singkil, merasa haknya diambil alih. Potensi bentrokan di lapangan sangat mungkin terjadi apabila ada pengelolaan sumber daya yang tumpang tindih.
•Konflik politik pusat-daerah: Keputusan sepihak dari pemerintah pusat memperlihatkan minimnya konsultasi serta partisipasi daerah dalam pengambilan kebijakan strategis. Hal ini dapat menumbuhkan kembali sentimen ketidakpuasan daerah terhadap pemerintah pusat, khususnya di Aceh yang memiliki sejarah panjang otonomi khusus.
Dampak Terhadap Keamanan Nasional
Pergeseran batas wilayah di daerah perbatasan laut bukan perkara sepele. Selain memicu keresahan di tingkat lokal, persoalan ini juga memiliki implikasi strategis:
•Wilayah perairan di sekitar empat pulau tersebut termasuk kawasan sensitif dekat jalur pelayaran internasional Selat Malaka.
•Ketidakpastian batas administrasi membuka celah terhadap pengawasan laut, penyelundupan, dan potensi aktivitas ilegal lain di perairan tersebut.
•Polemik batas wilayah yang berlarut-larut dapat menjadi celah dimanfaatkan pihak eksternal, baik oleh aktor negara maupun non-negara, untuk menguji soliditas kedaulatan Indonesia.
Pentingnya Penyelesaian yang Bijaksana
Menyelesaikan polemik ini tidak cukup hanya dengan keputusan administratif satu pihak. Diperlukan:
1.Dialog terbuka yang melibatkan Pemerintah Aceh, Sumatera Utara, Kemendagri, serta tokoh masyarakat adat setempat.
2.Pengkajian ulang dokumen hukum dan sejarah secara transparan dan obyektif.
3.Penerapan prinsip keadilan wilayah yang menghormati hak masyarakat adat.
4.Mengutamakan pendekatan nasionalisme inklusif yang mengedepankan persatuan, bukan memperuncing sekat-sekat administratif.
Polemik pemindahan empat pulau di Aceh adalah cerminan pentingnya kehati-hatian dalam mengatur batas wilayah negara. Di balik garis peta, terdapat hak masyarakat, sejarah panjang, serta sensitivitas politik daerah yang tidak bisa diabaikan. Jika tidak diselesaikan secara adil dan bijaksana, polemik ini berpotensi menjadi bara konflik baru yang dapat mengganggu persatuan Indonesia. Negara harus hadir sebagai pengayom, bukan pemantik.(Ahmad Komarudin)