Oleh: Rioberto Sidauruk – Dosen STIH Gunung Jati Tangerang, Ketua DPP HAPI
BK, Jakarta,- Di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden Prabowo Subianto menegaskan: “Saya telah beri tugas kepada Kapolri dan Jaksa Agung: usut, tindak, sita!” Sebuah instruksi langsung bagi aparat penegak hukum untuk membongkar kejahatan ekonomi.
Pernyataan itu menguak realitas pahit: di balik harga pangan yang melambung dan pasokan barang yang tiba-tiba lenyap, ada praktik curang yang sistematis. Presiden menamainya Serakahnomics, sebuah ekonomi bayangan yang tidak digerakkan oleh produktivitas, melainkan oleh keserakahan.
Fenomena ini bukan sekadar teori konspirasi, melainkan kejahatan terorganisir yang merugikan negara hingga triliunan rupiah dan menghantam jutaan keluarga yang kesulitan memenuhi kebutuhan pokok.
Sesungguhnya, Serakahnomics adalah penyakit kronis dalam tubuh ekonomi Indonesia. Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan bahwa kekayaan negeri harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Namun yang terjadi sebaliknya: kartel memonopoli distribusi, mafia menimbun barang, harga dimanipulasi tanpa kendali. Beras, minyak goreng, hingga pupuk petani berubah menjadi ladang empuk bagi para “vampir ekonomi” yang memperkaya diri di atas penderitaan rakyat.
Revolusi Digital
Bagaimana melawan Serakahnomics? Penegakan hukum yang tegas adalah kunci, tetapi tidak cukup bila hanya mengandalkan penggerebekan atau sidang pengadilan. Kita perlu memanfaatkan teknologi untuk menghadapi kejahatan yang kian canggih.
Bayangkan sebuah Economic Sentinel AI, kecerdasan buatan yang mampu memantau jutaan transaksi secara real-time, melacak pola anomali harga, hingga mendeteksi penimbunan sejak dini. Begitu ada kejanggalan, sinyal langsung dikirim ke regulator dan aparat. Seolah negara memiliki ribuan mata yang tidak pernah tidur, siap menyingkap praktik busuk di balik pasar.
Selain itu, algoritma harga adil bisa menjadi tameng. Algoritma ini menghitung biaya produksi wajar, menambahkan margin sehat, lalu menetapkan harga acuan yang transparan. Jika ada harga yang melenceng jauh tanpa alasan jelas, alarm penyelidikan berbunyi. Dengan cara ini, petani terlindungi dari tengkulak, konsumen aman dari permainan harga, dan pasar berjalan lebih adil.
Namun teknologi bukan satu-satunya senjata. Rakyat harus ikut berdaulat atas ekonominya. Platform distribusi langsung dari petani ke konsumen bisa memangkas rantai pasok panjang yang selama ini dikuasai perantara.
Lebih jauh, setiap warga dapat menjadi “ekonom warga” lewat aplikasi sederhana di ponsel: melaporkan harga tak wajar, kelangkaan barang, atau dugaan penimbunan. Data kolektif ini menjadi intelijen berharga bagi pemerintah untuk bertindak cepat. Dengan begitu, kedaulatan ekonomi tidak lagi dimonopoli, melainkan benar-benar kembali ke tangan rakyat.
Di sejumlah negara, model partisipasi publik seperti ini terbukti efektif. Misalnya di India, pemerintah meluncurkan aplikasi khusus untuk memantau distribusi beras bersubsidi, dan jutaan laporan warga membantu membongkar penyimpangan.
Indonesia bisa belajar dari praktik tersebut, menyesuaikannya dengan kondisi lokal, sambil memastikan keamanan data dan perlindungan bagi pelapor. Inilah bentuk gotong royong digital yang relevan di era sekarang.
Namun kritik terbesar justru tertuju pada lembaga pengawas kita sendiri. Berbagai kementerian dan badan negara sering bekerja tumpang tindih, tanpa koordinasi yang jelas. Situasi ini memberi ruang bagi mafia untuk lolos di celah birokrasi.
Jika pengawasan masih setengah hati, secerdas apa pun teknologi yang dipasang, hasilnya hanya akan jadi laporan menumpuk di meja pejabat. Yang dibutuhkan adalah ketegasan: memangkas ego sektoral dan memperkuat sistem terpadu yang tak bisa diintervensi.
Integritas Moral
Tetapi semua teknologi akan sia-sia jika manusianya tetap abai. Serakahnomics lahir dari krisis moral. Karena itu, memperkuat integritas menjadi solusi yang tak kalah mendesak. Pendidikan karakter harus menanamkan nilai kejujuran sejak dini.
Pemimpin bisnis dan pejabat publik harus menjadi teladan, bukan predator. Budaya anti-serakah harus menjadi norma bersama, sama pentingnya dengan gerakan anti-korupsi. Sebab teknologi hanya alat; integritaslah yang menentukan arah.
Masalah etika bisnis sering dianggap isu abstrak, padahal dampaknya konkret. Ketika pejabat tutup mata terhadap penimbunan, atau pengusaha sengaja mempermainkan harga, maka yang menderita adalah rakyat kecil.
Karena itu, kampanye anti-serakah tidak boleh berhenti pada jargon. Ia harus diwujudkan dalam kebijakan, regulasi, dan teladan sehari-hari. Dunia usaha pun harus berani menegakkan kode etik, menghukum anggotanya yang melanggar, dan memberi penghargaan bagi praktik bisnis yang adil.
Di titik inilah kritik mesti diarahkan juga kepada kita semua sebagai masyarakat. Fenomena panic buying, misalnya, sering dimanfaatkan mafia untuk menaikkan harga. Jika warga ikut-ikutan membeli berlebihan, mereka tanpa sadar memperkuat Serakahnomics.
Artinya, perlawanan tidak cukup hanya menunggu aparat bertindak; kesadaran publik juga menentukan. Melawan keserakahan berarti melawan godaan diri sendiri untuk tidak ikut menimbun atau mencari keuntungan di tengah penderitaan orang lain.
Pada akhirnya, perjuangan melawan Serakahnomics adalah pertarungan sederhana: keserakahan versus kesejahteraan. Indonesia tidak boleh kalah.
Dengan keberanian politik, inovasi digital, dan komitmen moral, kita bisa mengubur istilah Serakahnomics sebagai bagian dari sejarah kelam yang berhasil ditaklukkan. Pertanyaannya kini, beranikah kita konsisten melawan sampai tuntas? ( Rioberto Sidauruk,S.H.,M.H )